Pages

 

Sabtu, 12 Maret 2011

Mobil Nasional, Hanya Utopia?

0 komentar
Geliat industri otomotif nasional berbasis produksi yang mulai terasa setelah krisis moneter mendapatkan momentum bagus di awal tahun ini. Akhir Januari lalu, Presiden SBY mencanangkan keinginan untuk menjadi basis produksi otomotif terutama dari pabrikan-pabrikan raksasa Jepang (Kompas, 28 Januari). Satu pertanyaan kritis yang perlu diajukan menanggapi keinginan pemerintah itu: mengapa Indonesia hanya puas menjadi basis produksi, bila peluang mengembangkan mobil nasional tetap terbuka?

Dari data yang dikeluarkan oleh majalah Businessweek pada pertengahan tahun lalu, jumlah mobil yang terjual di Indonesia pada tahun 2004 adalah sekitar 480.000 unit. Jumlah ini merupakan terbesar ke-3 di Asia Tenggara setelah Thailand dan Malaysia. Pada tahun 2010, Gaikindo memperkirakan jumlah mobil yang terjual di Indonesia mencapai sekitar 1.3 juta unit. Suatu jumlah yang cukup fantastis. Karenanya tidak berlebihan bila berbagai kalangan berharap akan terwujudnya mobil nasional yang merupakan swa produksi bangsa sendiri.

Hanya basis produksi
Memang tidak diragukan bahwa menjadi basis produksi pabrikan besar dunia akan membuka lapangan kerja yang luas dan memberikan keuntungan yang tidak sedikit kepada negara. Namun pengalaman selama berpuluh tahun menjadi tempat perakitan mobil pabrikan besar menunjukkan bahwa menjadi basis produksi saja tidak cukup untuk mewujudkan alih teknologi. Padahal sudah jelas bahwa ketidakmampuan suatu bangsa dalam memproduksi barang yang menjadi hajat kebutuhan besar rakyatnya akan membuat negara tersebut terus bergantung pada negara lain. Dan dalam banyak kasus, ketergantungan ini bisa berujung pada tekanan politik dan ekonomi.

Salah satu sebab kegagalan kita selama ini dalam mewujudkan program mobil nasional adalah tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam memulai dan mengawalnya. Satu persatu program mobil nasional atau yang berkualifikasi setara, gugur sebelum mekar karena ketidaksungguhan itu.

Di awal tahun 1990-an ada program Mobil Maleo yang diluncurkan BPPT, tapi diabaikan pemerintah. Kemudian lahir proyek mobil Timor yang kontroversial dan akhirnya dibantai di DSB (Dispute Settlement Body)-WTO sebagai tanda kemenangan pengaruh Jepang atas Korea, sekaligus juga sebagai bukti ketidakcermatan kita memilih mitra bisnis yang bukan dari negara G-8. Upaya lain dicoba lagi dua tahun lalu oleh BPPT melalui prototipe mobil listrik Marlip. Namun lagi-lagi pemerintah dan swasta mengabaikannya.

Akibatnya, dengan posisi hanya sebagai basis produksi, meskipun kita mampu merakit ratusan ribu unit mobil per tahun, keuntungan terbesar tetap dinikmati oleh produsen asal dan para agen tunggal. Sementara kita harus puas dengan julukan basis produksi yang murah meriah. Padahal, harga mobil di dalam negeri sendiri tidaklah murah, yakni rata-rata dua kali lipat dari harga di negara asal.

Penumbuh Industri Dasar
Keterlenaan sebagai basis produksi pabrikan luar negeri juga membuat Indonesia kehilangan peluang melalukan alih teknologi. Satu yang sering dilupakan orang adalah efek berantai dari sebuah karya teknologi. Setiap teknologi memerlukan teknologi yang lain yang lebih mendasar. Salah satu contoh, Jepang sebagai negara yang kalah perang membangun kembali industrinya dari teknologi dasar seperti pengolahan logam, pembuatan sekrup dan mesin bubut. Dengan teknologi dasar inilah mereka sekarang menancapkan kukunya di setiap segmen industri mesin.

Bila pemerintah mengawal program mobil nasional, diharapkan kita akan berhasil menguasai banyak teknologi dasar. Yang paling penting adalah industri logam, khususnya pengolahan besi dan baja sebab lebih dari 70 persen komponen mobil terbuat dari bahan campuran besi. Industri lain yang akan terkatrol misalnya industri alat elektronik seperti pembuatan dioda, kapasitor dan kabel-kabel untuk tegangan rendah. Juga industri alat manufaktur, seperti pembuatan mesin pemotong, alat las, dan sebagainya.

Sekali kita berhasil membuat mobil nasional dengan kemampuan sendiri, maka produk nasional lain hanya tinggal waktu. Akan lahir pula sepeda motor nasional, traktor nasional, atau mesin panen padi nasional.

Belajar dari negara lain
Jika pemerintah serius dalam memulai dan mengawal program swa produksi kendaraan dalam negeri, peluang sukses sebenarnya cukup terbuka. Kita tidak perlu malu meniru cara Malaysia menelurkan Proton dan kemudian membinanya sampai menjadi cukup mapan. Walaupun untuk itu Malaysia pada awalnya harus mendapat kritikan tajam dari luar negeri karena proteksi pasar yang dinilai terlalu menguntungkan Proton.

Dengan saham yang hampir seluruhnya dimiliki kerajaan, Proton didirikan tahun 1983 memanfaatkan teknologi dari Mitsubishi Motors. Tahun 1985 Proton meluncurkan Proton Saga, sejak tahun 2001 berhasil memproduksi mobil-mobil desain sendiri dan sudah merambah pasar Eropa.

Kisah sukses lain tentang pengembangan mobil nasional datang dari Iran. Negeri yang kerap bersitegang dengan Amerika ini memiliki Khodro yang sangat dibanggakan bangsa Iran. Sama dengan Proton, Khodro dibesarkan dengan segenap kemampuan negara. Hasilnya, Iran tidak terlalu tergantung pada negeri asing soal kendaraan dan sudah tentu kepercayaan diri mereka sebagai bangsa yang mandiri juga terjaga.

Sejumlah Strategi
Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk mensukseskan program mobil nasional selain langkah proteksi. Misalnya pemerintah bisa menginstruksikan agar semua lembaga negara memakai mobil produksi dalam negeri sebagai mobil dinas.

Pemerintah bersama industri kita juga tidak perlu mengejar persyaratan sekunder yang diterapkan negara yang sudah mapan industri otomotifnya. Misalnya,untuk persyaratan emisi NOx dan SOx tidak perlu memakai standar Eropa yang terkenal ketat. Untuk kualifikasi polusi suara rendah dan kemampuan mengatasi tabrakan, kedua persyaratan ini termasuk yang bisa dipikirkan belakangan. Yang penting, bagaimana mulai memproduksi sendiri.

Tapi semua strategi tersebut tidak akan berarti tanpa kesungguhan pemerintah memfasilitasi mobil nasional, apalagi jika hanya sekedar mendambakan status basis produksi. Ataukah pemerintah memang harus membuat kita percaya bahwa melahirkan mobil nasional adalah sekadar utopia? (*)


*** Azhari Sastranegara, peneliti pada NSK Ltd. Research and Development Center, Basic Mechanics Laboratory.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar